TUGAS KELOMPOK MAKALAH SOFT SKILL
GAYA MENGAJAR DOSEN
BAHASA INDONESIA 2
Dibuat Oleh :
N a m a : STIRA PANUT (16210698)
UTTARI (18210342)
MARLINA (14210229)
Kelas : 3 EA 21
FAKULTAS
EKONOMI MANAJEMEN
UNIVERSITAS
GUNADARMA
BEKASI
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1. Pengertian Gaya Mengajar
“Mengajar adalah membimbing kegiatan belajar anak“ (Hamalik, 2010:58).
Sedangkan Manen (dalam Marzuki, 1999:21), mengatakan bahwa “gaya mengajar adalah ciri-ciri kebiasaan,
kesukaan yang penting hubungannya dengan murid bahkan gaya mengajar lebih dari
suatu kebisaaan dan cara istimewa dari tingkah laku atau pembicaraan guru atau
dosen”. Gaya mengajar mencerminkan bagaimana pelaksanaan pengajaran guru yang
bersangkutan yang dipengaruhi oleh pandangannya sendiri tentang mengajar,
konsep-konsep psikologi yang digunakan, serta kurikulum yang dilaksanakan.
Dari pendapat-pendapat tersebut gaya mengajar
dapat disimpulkan sebagai ciri yang melekat pada seorang guru atau dosen yang
dipengaruhi oleh pandangan dari dirinya sendiri dilihat dari cara penampilan
dan perilaku dalam menyampaikan suatu materi kepada siswa atau mahasiswa.
BAB II
ISI
1. Jenis-jenis Gaya Mengajar
Dalam pembelajaran di kelas guru atau dosen
mempunyai karakteristik tertentu dalam menyampaikan mata kuliah yang
dibimbingnya. Karakteristik tersebut adalah gaya mengajar. Gaya mengajar
merupakan salah satu faktor tersampaikannya materi yang diajarkan kepada siswa
atau mahasiswa.
Menurut pendapat Ali (2008:59), gaya mengajar dapat dibedakan menjadi empat macam
yaitu gaya mengajar klasik, teknologis, personalisasi dan interaksional, dapat
disimpulkan sebagai berikut, yaitu:
a. Gaya Mengajar Klasik
Proses pengajaran dengan gaya klasik berupaya
untuk memelihara dan menyampaikan nilai-nilai lama dari generasi terdahulu ke
generasi berikutnya. Isi pelajaran berupa sejumlah informasi dan ide yang
paling popular dan dipilih dari dunia yang diketahui anak. Peran guru disini
sangat dominan, karena dia harus menyampaikan bahan. Oleh karenanya guru harus
ahli (expert) tentang pelajaran yang dipegangnya, dengan demikian proses
pengajaran bersifat pasif, yakni siswa diberi pelajaran.
b. Gaya Mengajar Teknologis
Peranan guru hanya sebagai pemandu (guide),
pengarah (director) atau pemberi kemudahan (facilitator) dalam
belajar karena pelajaran sudah di program sedemikian rupa dalam perangkat, baik lunak (software) maupun keras
(hardware).
Selain itu dalam Jogiyanto (2006:103), “dengan
memahami perannya, dosen akan dapat mengarahkan diskusi kasus dengan benar,
mengawasinya, mendorong munculnya ide-ide, merespon pertanyaan-pertanyaan
dengan semestinya dan dapat menjadi pendengar yang baik”. Dari pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa dosen mempunyai peran sebagai, pengarah,
pengawas, pendorong munculnya ide, merespon dan menjadi pendengar yang baik.
Menurut Sardiman (2001:176) kegiatan recording
pada guru meliputi daftar presensi, catatan tugas, sosiometris siswa,
partisipasi siswa, dan data pribadi siswa. Dalam gaya mengajar teknologis dosen mempunyai
catatan tentang kegiatan mahasiswa dalam bentuk file.
c. Gaya Mengajar Personalisasi
Ciri gaya ini adalah guru harus mempunyai
kemampuan dalam mengasuh, ahli dalam psikologi dan
metodologi, serta bertindak sebagai narasumber (resource person). Adapun
bahan pelajaran disusun dan muncul berdasarkan atas minat dan kebutuhan siswa
secara individual.
Dalam pengajaran personalisasi dosen diharapkan
dapat memfasilitasi kebutuhan dari mahasiswa, hal tersebut sesuai dengan
pendapat Sagala (2006:152) yang dapat disimpulkan sebagai berikut : setiap anak mempunyai minat
yang berbeda-beda sehingga dalam hal pembelajaran, bahan ajar dan penyampaian
sedapat mungkin disesuaikan dengan minat dan kebutuhan anak. Dalam gaya
mengajar personalisasi dosen mempunyai peran sebagai psikolog bagi mahasiswa. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Sardiman (2001:173), “dalam tugas dan peranannya di sekolah guru juga
sebagai pembimbing ataupun konselor / penyuluh”.
d. Gaya mengajar interaksional
Guru dalam hal ini menciptakan iklim saling
ketergantungan dan timbulnya dialog antar siswa. Siswa belajar melalui hubungan
dialogis. Dia mengemukakan pandangannya tentang realita, juga mendengarkan
pandangan siswa lain.
Menurut Sagala (2009:179), beberapa langkah yang
dapat di tempuh guru dalam model interaksi sosial adalah sebagai berikut, :
1. Guru memberikan masalah situasi sosial kepada
siswa,
2. Siswa dibantu guru menelusuri
berbagai macam masalah dalam situasi tersebut,
3. Siswa diberikan tugas untuk memecahkan,
menganalisis , dan mengerjakan sesuai dengan situasi tersebut,
4. Siswa berdiskusi untuk memecahkan masalah,
5. Siswa membuat kesimpulan hasil
diskusi dan,
6. kemudian membahas kembali hasil yang telah
diperoleh.
Dalam gaya mengajar interaksional ini dosen
harus memberikan penghargaan kepada mahasiswa yang aktif dalam mengemukakan
pendapat, hal tersebut seperti pendapat Sardiman (2001:90) yang dapat
disimpulkan sebagai berikut, untuk menumbuhkan motivasi hal yang dapat
dilakukan guru adalah sebagai berikut, memberi angka, hadiah, saingan, ego-involment,
memberi ulangan, mengetahui hasil, pujian, hukuman, hasrat untuk belajar,
minat, dan tujuan yang diakui. Hal tersebut dosen harus dapat
menciptakan suasana yang menyenangkan, hal tersebut sesuai dengan pendapat Sagala (2009:112) “dengan suasana belajar yang
menyenangkan ini akan memotivasi belajar lebih aktif”. Dalam gaya mengajar ini mahasiswa bebas
mengeluarkan pendapat terkait dengan gaya mengajar dosen seperti yang
dikemukakan Mursel dan Nasution (2008:117), “evaluasi yang baik menginginkan evaluasi diri oleh murid”. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dosen membutuhkan mahasiswa
untuk mengevaluasi gaya mengajarnya.
Pada sekarang ini umumnya gaya mengajar dosen
atau guru lebih mengedepankan proses dialog antara siswa atau mahasiswa dengan
guru atau dosen. Hal tersebut bisa dilihat pada waktu perkuliahan dimana guru
atau dosen sering mengadakan diskusi untuk membahas suatu materi atau untuk
memecahkan suatu masalah, tetapi terdapat juga dosen atau guru yang
mengajar dengan menggunakan gaya lama, misalnya hanya menyampaikan materi
tanpa ada forum diskusi.
2. Persyaratan Mengajar Yang Baik
Untuk dapat menjadi seorang pengajar dan pendidik yang baik diperlukan persyaratan sebagai berikut :
1. Mengajar yang baik merupakan gabungan dari kesenangan (passion) dan penalaran (reason). Mengajar yang baik bukan hanya tentang bagaimana memotivasi mahasiswa agar mau belajar tetapi mengajar mereka bagaimana belajar dengan baik sehingga apa yang dipelajari menjadi relevan, memiliki arti, dan dikenang dengan baik. Prof. Leblanc mengibaratkan bahwa memperlakukan mahasiswa (dalam hal mengajar dan mendidik) sama persis dengan bagaimana kita berbuat memperlakukan sesuatu benda yang kita senangi. Dosen harus memperlihatkan suatu antusiasme dan kasih sayang dan kemudian membagikannya kepada mahasiswanya.
Beberapa indikator dari dampak mengajar yang baik adalah : Apa yang diajarkan di dalam kelas menjadi stimulan bagi proses berikutnya dari studi mahasiswa, misalnya topik -topikbahasan kuliah menjadi sumber inspirasi bagi riset/ karya ilmiah/ bahan diskusi mahasiswa tersebut. Cara dosen mengajar menjadi role model bagi para mahasiswanya.
2. Mengajar yang baik harus menjadikan mahasiswa sebagai konsumen atau klien dari ilmu pengetahuan yang kita jual (artinya kita menganggap bahwa mahasisiwa adalah konseumen yang harus kita treat agar mereka mau membeli apa yang kita tawarkan). Seorang dosen haruslah mengerjakan yang terbaik dalam bidangnya, membaca dari berbagai sumber, bukan hanya dalam bidangnya tetapi juga di luar bidang keahlian sendiri. Mengapa? Pertama: Karena mengajar yang baik bukan hanya menyampaikan ilmu pengetahuan yang menjadi bidang garapan kita (karena itu informasinya bukan hanya dari buku teks dan jurnal ilmiah bidang kita) saja, tetapi juga tentang bagaimana keterkaitan bidang ilmu kita dalam khasanah ilmu lainnya dan bagaimana penerapannya di dunia nyata. Kedua :Adalah benar jika ada yang berpendapat bahwa semakin tinggi gelar kesarjanaan seseorang semakin fokus dan semakin dalam pengetahuannya dalam bidang keahliannya. Oleh karena itu, seorang doktor atau profesor seharusnya mempelajari lebih banyak bidang-bidang di luar kajiannya, karena sebagaimana dikemukakan di atas, prinsip kedua dari mengajar yang baik adalah menjembatani antara teori dan praktiknya di masyarakat.
3. Mengajar yang baik adalah kesediaan mendengarkan, mempertanyakan, menyikapi dengan responsif, dan memahami bahwa setiap individu mahasiswa dari setiap kelas adalah suatu pribadi yang unik dan berbeda. Yang sama dari setiap individu mahasiswa hanyalah dalam tujuan akhirnya, yaitu mendapatkan ilmu pengetahuan dan pendidikan yang berkualitas sehingga dapat bermanfaat dalam kehidupan mereka setelah lulus dari pendidikannya.
Menurut Prof. Leblanc, seorang pengajar (dosen) yang baik harus dapat mendorong mahasiswa mencapai keunggulan, dan secara bersamaan mahasiswa juga harus dapat menjelma menjadi seorang pribadi yang yutuh, memiliki rasa hormat kepada sesama, dan selalu menjadi seorang yang profesional.
Dengan demikian, bukanlah sebuah sikap yang baik jika seorang dosen hanya berdiri di depan kelas, menyampaikan materi ajar secara ‘kering’, tanpa pernah menyisipkan soal etika dan moral (al-Akhlak al-Karimah), baik yang berkaitan dengan penerapan ilmu yang diajarkannya maupun etika dan moral secara umum.
4. Menjadi pengajar yang baik bukan hanya dibuktikan dengan memiliki program kerja (agenda) yang tersusun rapih dan secara ketat mengikuti agenda tersebut (rigid). Sebaliknya, dosen haruslah bersikap fleksibel, fluid (tidak kaku), selalu bersedia untuk mencoba hal-hal baru (experimenting), dan memiliki kepercayaan diri untuk merespons dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah.
Menurut Prof. Leblanc, sebagus apa pun agenda kerja yang disusun, di kelas, paling banyak hanya 10% yang dapat tercapai. Seorang pengajar yang baik harus bersedia untuk mengubah silabus dan memanage jadwal perkuliahannya jika di tempat lain diketahuinya ada hal-hal yang lebih baik.
Pernyataan Prof. Leblanc di atas mengindikasikan bahwa sangat perlu bagi seorang dosen untuk terus-menerus melakukan benchmarking, melalui penggalian informasi (buku, diskusi, internet, studi banding, dll.) bagaimana ilmu yang dia ajarkan diajarkan di tempat lain. Dengan demikian, pada prinsipnya, bukan hanya silabus mata kuliah yang harus fleksibel mengikuti kebutuhan zaman dan kebutuhan pasar, tetapi mata kuliahnya sendiri juga dapat ‘ditutup-dibuka’ atau ‘dihilangkan dan diganti’ jika mata kuliah tersebut sudah tidak lagi relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Silahkan masing-masing kita mengevaluasi diri sendiri, seberapa sering kita memperbaharui bahan ajar, semutakhir apakah bahan ajar yang kita berikan kepada mahasiswa, dan sejauh mana kita tahu bagaimana ilmu yang kita ajarkan diberikan di tempat lain. Jangan-jangan yang kita berikan dan praktikkan sampai sekarang adalah bahan ajar yang sama, yang kita dapatkan dari dosen ketika dahulu kita kuliah, sedangkan teknik kita dalam mengajar pun hanya meniru apa yang dilakukan oleh dosen-dosen kita dahulu.
5. Mengajar yang baik juga berkaitan dengan cara atau gaya (style). Mengajar di kelas harus juga merupakan suatu ‘pertunjukkan’ yang menarik, bukan hanya berdiri di podium dengan tangan yang seolah melekat ke meja podium atau pandangan yang hanya tertuju ke layar (jika itu pun sudah menggunakan alat bantu OHP atau LCD). Mengajar di depan kelas bagi seorang dosen adalah bekerja, dan mahasiswa merupakan lingkungan konsumen yang berada di sekitarnya. Seorang dosen di kelas adalah seorang dirijen (conductor) sebuah orkestra dan mahasiswa bagaikan pemain orkestra yang memainkan alat musik yang berlainan dengan kemampuan bermain yang berbeda-beda. Dari pengalaman kita sebagai mahasiswa, kita pernah mendapatkan dosen yang hanya duduk manis saja di kursi dan kemudian dia memerintahkan sesuatu tapi tidak ada yang dijelaskan, ada pula yang selalu membelakangi mahasiswa dan hanya membaca proyeksi transparansi, atau malah mendiktekan kata demi kata kepada mahasiswa. Cara atau gaya mengajar bukan saja akan mempengaruhi daya ketertarikan (animo) mahasiswa terhadap materi perkuliahan, tetapi juga terhadap animo untuk hadir di kelas pada mata kuliah tersebut.
Agaknya perlu untuk dipertimbangkan tawaran sebagaimana perkuliahan yang dilakukan beberapa perguruan tinggi baik di dalam negeri atau luar negeri, dimana banyak perkuliahan ditawarkan secara paralel, baik pada semester yang sama atau kelas yang berbeda, pemilihan kelas biasanya sangat ditentukan oleh kualitas dan gaya mengajar dosennya. Walaupun ditawarkan secara bersamaan dalam satu semester yang sama, dosen yang mengajarnya enak/mumpuni/menyenangkan (menurut istilah mahasiswa sekarang), kelasnya akan diminati oleh banyak mahasiswa (sehingga sering harus dibatasi dengan menerapkan ‘siapa cepat mendaftar ia yang akan kebagian’). Sementara kelas yang sama tetapi diasuh oleh dosen yang gaya mengajarnya ‘kering’, justru sering kosong melompong.
Di kebanyakan Perguruan Tinggi dan khusunya di tempat kita, pembukaan kelas paralel juga dilakukan, terutama untuk kelas-kelas yang pesertanya /mahasiswanya banyak. Pembagian mahasiswa ke dalam kelas-kelas di berbagai Perguruan Tinggi biasanya diatur oleh Fakultas atau Jurusan, sehingga mahasiswa tidak diberi kebebasan dalam memilih kelas mana yang disukainya. Jika saja mahasiswa dibebaskan memilih sebagaimana di beberapa Perguruan Tinggi baik di dalam negeri atau di luar negeri, maka pasti mereka akan memilih kelas yang dosen pengajarnya memiliki style mengajar yang disukainya. Jangan pernah apriori bahwa mahasiswa tak pernah menilai dosen dan membanding-bandingkan style dosen mengajar. Kalau tidak percaya, silahkan dengarkan celotehan mereka ketika mahasiswa sedang berkumpul.
Agaknya ide ini perlu untuk dipertimbangkan, bahwa evaluasi oleh mahasiswa terhadap kinerja dosen yang biasanya dilakukan di akhir perkuliahan, belum menjadi standar penilaian kinerja dosen. Demikian juga pemilihan dosen favorit pilihan mahasiswa belum merupakan kegiatan yang membudaya.
6. Prof. Leblanc
menekankan bahwa prinsip keenam ini merupakan prinsip yang sangat penting,
yaitu bahwa mengajar yang baik harus mengandung unsur humor (jenaka). Artinya,
dalam mengajar, seorang dosen harus menyisipkan humor-humor, yang akan sangat
berguna untuk mencairkan (ice-breaking) suasana kelas yang kaku. Harus disadari
bahwa mahasiswa adalah manusia yang datang ke kelas dengan kondisi yang
berbeda-beda, dengan permasalahannya masing-masing, baik yang muncul hari itu
maupun yang sudah dimilikinya berhari-hari atau berbulan-bulan yang lalu. Kelas
yang kaku dan terlalu serius akan sangat membosankan.
Menurut sumber lain, contohnya Barbara Gross Davies (Tools for Teaching, Jossey-Bass Publishers, 1993), jika pun atmosfir kelas mendukung, mahasiswa hanya penuh perhatian terhadap materi perkuliahan sampai maksimal 20 menit pertama saja. Untuk itu, dosen harus berusaha semaksimal mungkin untuk memasukkan teknik-teknik jenaka untuk menarik kembali perhatian mahasiswa terhadap materi perkuliahan. Ada banyak teknik yang dapat dilakukan untuk hal tersebut, tetapi bukan untuk dibahas disini.
Menurut sumber lain, contohnya Barbara Gross Davies (Tools for Teaching, Jossey-Bass Publishers, 1993), jika pun atmosfir kelas mendukung, mahasiswa hanya penuh perhatian terhadap materi perkuliahan sampai maksimal 20 menit pertama saja. Untuk itu, dosen harus berusaha semaksimal mungkin untuk memasukkan teknik-teknik jenaka untuk menarik kembali perhatian mahasiswa terhadap materi perkuliahan. Ada banyak teknik yang dapat dilakukan untuk hal tersebut, tetapi bukan untuk dibahas disini.
7. Mengajar yang baik adalah memberikan perhatian, membimbing, dan mengembangkan daya pikir serta bakat para mahasiswa. Mengajar yang baik berarti mengabdikan atau menyediakan waktu kita bagi setiap mahasiswa. Juga berarti mengabdikan diri untuk menghabiskan waktu kita untuk memeriksa hasil ujian, mendesain atau meredisain perkuliahan, menyiapkan bahan-bahan ajar untuk lebih memperbaiki perkuliahan.
Pengajar dan pendidik yang baik, bukanlah seorang dosen yang justru perbuatannya membuat polemik di kalangan mahasiswa dengan gaya, penampilan dan style mengajar dan mendidiknya yang tidak mencerminkan seorang dosen dan pendidik.
Bagi yang pernah mengikuti pelatihan Applied Approach dan Pekerti (Pengembangan Keterampilan Teknik Instruksional) tentu dapat memahami bahwa hanya untuk menyusun SAP dan GBPP saja, berapa besar energi dan banyak waktu yang harus kita curahkan. Tapi itulah resiko sebuah pekerjaan. Bukankah tak ada yang memaksa kita untuk menjadi dosen, jadi ketika sekarang kita sudah menjadi dosen, mengapa tidak sekalian saja kita bersikap profesional?
8. Mengajar yang baik harus didukung oleh kepemimpinan yang kuat dan visioner serta oleh institusi yang juga mendukung, baik dalam sumberdayanya, personalianya, maupun dananya. Mengajar yang baik harus merupakan penggambaran dari pelaksanaan visi dan misi institusi yang selalu harus diperbaiki dan diperbaharui, bukan hanya dalam perkataan tetapi juga dalam perbuatan.
9. Mengajar yang baik adalah tentang pembimbingan (mentoring) yang dilakukan oleh dosen senior kepada dosen yunior, tentang kerjasama, dan kemudian kinerjanya dapat dikenali dan dihargai oleh seorang penilai (penyelia). Jika seorang dosen telah mengajar dengan baik, sudah sepatutnya ia mendapat imbalan penghargaan, sementara mereka yang mengajarnya masih kurang baik, sudah sepatutnya mereka mendapatkan berbagai progam pelatihan dan pengembangan.
Sudah sepantasnya bahwa di Lembaga ini menyediakan dana dan sarana, untuk pelatihan dan pengembangan dosen dengan membentuk P3AI (Pusat Pelatihan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional). Di mana, kegiatannya bukan sebatas pada penyelenggaraan pelatihan AA dan Pekerti saja, tetapi lebih dari itu adanya upaya monitoring dan penilaian bagi dosen-dosen yang mengajar.
Yang perlu untuk diperhatikan juga, proses pembimbingan (mentoring) yang dilakukan oleh dosen senior kepada dosen yunior (asisten), tampaknya kegiatan ini masih merupakan ‘hiasan bibir belaka’. Tentunya perlu ada upaya serius dan terprogram mengenai proses mentoring ini.
Artinya bahwa perlu ada pembekalan oleh dosen senior ke dosen yunior tentang bagaimana caranya mengajar dan memimpin praktikum, apalagi membekali dengan bahan-bahan ajar atau materi praktikum yang baik dan mutakhir.
Dalam proses mentoring yang baik, sebaiknya dimulai dari mewajibkan asisten untuk duduk bersama mahasiswa di kelas, mendengarkan dan memperhatikan bagaimana dosen senior mengajarkan materi perkuliahan. Kegiatan ini kemudian harus diikuti oleh diskusi antara dosen senior dan asistennya tentang materi yang tadi dibahas di kelas. Setelah dua atau tiga semester untuk mata kuliah tersebut (bukan 2 atau 3 kali tatap muka), barulah asisten diberi kesempatan untuk menggantikan beberapa tatap muka atau keseluruhan dari tatap muka mata kuliah tersebut. Itu pun, kuliah perdananya, seharusnya tetap diberikan oleh si dosen senior. Sedangkan untuk kuliah selanjutnya, jika si senior tidak berhalangan, maka senior dapat berganti tempat dengan asisten, kali ini ia duduk di belakang bersama mahasiswa, memperhatikan bagaimana asistennya mengajarkan mata kuliah tersebut. Demikianlah proses mentoring yang seharusnya.
10. Akhirnya,
mengajar yang baik adalah memiliki kesenangan, dan kenikmatan batin, yaitu
ketika mata kita menyaksikan bagaimana mahasiswa kita menyerap ilmu yang kita
berikan, bagaimana pemikiran mahasiswa menjadi terbentuk, sehingga mahasiswa
kemudian menjadi orang yang lebih baik.
Seorang pengajar yang baik akan melakukan tugasnya bukan semata karena uang atau karena sudah merupakan kewajibannya, tetapi karena ia menikmati pekerjaannya, dan karena ia menginginkan pekerjaannya itu. Seorang pengajar yang baik tidak dapat membayangkan ia akan dapat melakukan hal atau pekerjaan lain selain mengajar dan mengajar.
Semoga saja dengan ke sepuluh kriteria/persyaratan mengajar yang baik di atas, civitas academika (mahasiswa, dosen, karyawan dan Pimpinan) dapat mengambil pelajaran. Bahwa untuk menjadi seorang dosen yang baik itu bukan hanya sisi intelektualitasnya saja (dibuktikan dengan IP 3,00 atau lebih atau dengan prediket Cumlaude) tapi yang tidak kalah pentingya juga adalah dari sudut Emosional dan Spiritual (commitment moral dan akhlaknya) yang perlu untuk di uji.
Seorang pengajar yang baik akan melakukan tugasnya bukan semata karena uang atau karena sudah merupakan kewajibannya, tetapi karena ia menikmati pekerjaannya, dan karena ia menginginkan pekerjaannya itu. Seorang pengajar yang baik tidak dapat membayangkan ia akan dapat melakukan hal atau pekerjaan lain selain mengajar dan mengajar.
Semoga saja dengan ke sepuluh kriteria/persyaratan mengajar yang baik di atas, civitas academika (mahasiswa, dosen, karyawan dan Pimpinan) dapat mengambil pelajaran. Bahwa untuk menjadi seorang dosen yang baik itu bukan hanya sisi intelektualitasnya saja (dibuktikan dengan IP 3,00 atau lebih atau dengan prediket Cumlaude) tapi yang tidak kalah pentingya juga adalah dari sudut Emosional dan Spiritual (commitment moral dan akhlaknya) yang perlu untuk di uji.
BAB III
PENUTUP
Gaya mengajar dapat disimpulkan
sebagai ciri yang melekat pada seorang guru atau dosen yang dipengaruhi oleh
pandangan dari dirinya sendiri dilihat dari cara penampilan dan perilaku dalam
menyampaikan suatu materi kepada siswa atau mahasiswa.
Seorang pengajar yang baik akan
melakukan tugasnya bukan semata karena uang atau karena sudah merupakan
kewajibannya, tetapi karena ia menikmati pekerjaannya, dan karena ia
menginginkan pekerjaannya itu. Seorang pengajar yang baik tidak dapat
membayangkan ia akan dapat melakukan hal atau pekerjaan lain selain mengajar
dan mengajar. Untuk menjadi seorang dosen yang baik itu bukan hanya sisi
intelektualitasnya saja (dibuktikan dengan IP 3,00 atau lebih atau dengan
prediket Cumlaude) tapi yang tidak kalah pentingya juga adalah dari sudut
Emosional dan Spiritual (commitment moral dan akhlaknya) yang perlu untuk di
uji.
DAFTAR REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar